Aku menatap miris pada buku tabungan. Menghela nafas
sepanjang apapun takkan mengubah angka-angka yang tertera di dalamnya. Kalau
sudah begini, ada terselip penyesalan karena tak bekerja lagi. Seandainya masih
bekerja tentu aku tak sebingung ini hanya untuk memenuhi permintaan putriku.
Putriku minta diadakan pesta ulang tahun. Padahal bulan ini bukan
hanya dia yang berulang tahun. Adiknya berulang tahun hanya beda satu hari dari
kakaknya. Tiga hari kemudian ayah mereka yang berulang tahun. Seminggu kemudian
adik iparku berulang tahun dan di akhir bulan ini ada tiga keponakanku berulang
tahun. Aku bisa menghapus hadiah kado untuk suami dan adik iparku, tetapi untuk
tiga keponakanku jelas tidak mungkin. Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti
kalau uwaknya sedang tak ada uang.
Kalau aku mengadakan pesta ulang tahun untuk Rara, jelas aku juga
harus mengadakan pesta ulang tahun untuk Dimas. Tak adil rasanya jika aku hanya
mengadakan satu pesta sementara yang lain tidak. Padahal bulan ini tabungan
kami benar-benar tak memungkinkan untuk mengadakan pesta.
Tadi malam putriku berkata, “Mah, aku minta pesta yang meriah
seperti waktu di tk dulu ya ma. Diadain di restoran dan pakai kue tart yang
besar.” Dan putraku pun ikut-ikutan meminta, “Kalau Dimas minta pesta pakai
baju bajak laut, ya ma.”
Aku hanya bisa diam, menatap pada suamiku yang tampak masygul.
Keadaan memang tak seperti dulu lagi. Dulu segalanya lebih mudah sebelum cobaan
berat menghantam rumah tangga kami. Hampir saja kami kehilangan tempat tinggal
karena orang yang kami tolong ternyata berubah jadi rubah hitam yang
menyalahgunakan kepercayaan kami. Saat ini kami sedang berusaha dari nol lagi,
sedikit demi sedikit mengembalikan keadaan. Sulit tapi akhirnya bisa terlewati
pelan-pelan.
Kembali ke anakku, permintaan mereka adalah hal yang paling tidak
mungkin. Tidak memenuhi permintaan mereka juga kami tak tega karena sudah dua
tahun terakhir ini mereka turut merasakan penderitaan. Kami tak lagi sesering
dulu keluar rumah. Mereka bahkan harus mengalah untuk tidak berulang tahun
selama dua tahun terakhir, berhenti berlangganan majalah kesukaan mereka,
berhenti membeli DVD baru sampai harus memakai tas dan sepatu hingga
benar-benar rusak baru terpaksa kami ganti. Kami sudah terlalu sering tidak
memenuhi keinginan mereka.
Akhirnya setelah berbicara banyak dengan suamiku. Kami memutuskan
untuk menjual gelang perhiasanku yang sudah lama tak kupakai. Suamiku agak
berat hati tetapi aku tak mempermasalahkannya. Gelang itu pemberiannya saat
ulang tahun pernikahan kami yang kelima.
Setelah menghitung-hitung ternyata tetap saja tak cukup. Suamiku
berpikir sejenak sebelum berdiri membuka lemari tempat ia meletakkan cincin
emas tanda pengabdiannya bekerja lima belas tahun di kantornya. Ia mengambil
kotak cincin, membukanya dan lalu menyerahkan padaku.
“Kalau mama merelakan hadiah ulang tahun kesayangan mama untuk
anak-anak, Ayah juga rela cincin ini dijual. Demi anak-anak.” Katanya. Aku
menatap suamiku haru dan mengulangi kata-katanya dengan lirih, “Ya, demi
anak-anak.”
Suamiku menjual kedua barang berharga kami di sebuah toko emas.
Tanpa banyak bicara ia memberiku hasil penjualan itu. Kami sepakat untuk tidak
membahas karena anak-anak tak boleh tahu.
Pada kedua anakku, aku meminta maaf karena tak bisa memenuhi
keinginan mereka. Kami bisa mengadakan pesta ulang tahun tapi hanya di rumah.
Mereka tak masalah dan tampak begitu gembira menyambut keputusan kami.
Kami sepakat membereskan rumah bersama sebelum pesta diadakan. Saat
beres-beres, aku menemukan banyak sekali barang-barang bekas anak-anak yang
bertumpuk di gudang. Karena sudah tak terpakai, aku terpikir untuk
menyumbangkannya pada panti asuhan yang biasa kami datangi tiap bulan.
Aku membawa Rara dan Dimas seperti biasa. Aku katakan mereka boleh
bermain dengan anak-anak Panti sementara aku menemui ibu pengurus panti.
Kuantarkan barang-barang itu pada Bunda Sarah, kepala Panti Asuhan.
“Bun, maaf. Bulan ini kami tak punya dana lebih. Anak-anak minta
diadakan pesta ulangtahun tahun ini.” Kataku meminta maaf sambil menyodorkan sebuah
amplop pada Bunda Sarah.
“Ga papa, Bunda. Bunda datang ke sini saja saya sudah sangat
bersyukur. Semoga acaranya lancar dan meriah ya bunda.” Doa Bunda Sarah membuat
mataku berkaca-kaca. Lalu kami berdua sibuk memilah-milah barang yang kubawa
ketika Rara dan Dimas berlari masuk.
“Ma, lapar nih. Makan yok!” Kata Rara sambil bergelayut manja
padaku. Bunda Sarah malah berdiri mengajak anak-anakku ke dapur. “Ayo, ikut
Bunda Sarah! Kita makan sama yang lain yuk!”
Aku ikut masuk ke dapur karena tak ingin membuat Bunda Sarah
kerepotan mengurus dua anakku yang manja. Tapi tampaknya anak-anak cukup manis
karena mereka duduk di bangku panjang bersama anak-anak panti lain dengan
tertib.
Setelah menggoreng tempe dan hati ayam , aku membantu bunda Sarah
menyajikannya untuk anak-anak. Saat melihat makanan yang disajikan, putriku
turun dari kursinya membawa piring.
“Ma, ini hatinya kecil sekali. Mana cukup Rara makan segini.” Keluh
putriku.
“Sssttt!” aku langsung menaruh telunjuk di bibirku, meminta putriku
diam. Lalu sambil berbisik aku berkata, “Sayang, nanti saja di rumah kita
nambah. Coba Rara lihat yang lain, ukurannya sama juga kan. Mereka tidak ngeluh
loh.”
Rara menatap teman-temannya yang tampak lahap makan nasi jatah
mereka. Dengan patuh, dia kembali duduk dan makan pelan-pelan. Sesekali kulihat
ia melirik ke arah anak-anak itu. Mungkin ia bingung kenapa anak-anak itu sama
sekali tidak protes.
Setelah makan aku mencuci piring anak-anak. Sebagian anak yang lebih
besar ikut membantu Bunda Sarah dan aku berberes-beres. Pekerjaan selesai
dengan cepat. Maka aku segera mencari kedua anakku. Sudah waktunya kami pulang
karena ayah mereka akan pulang dari kantor sebentar lagi.
Aku menemukan Rara sedang duduk bercerita bersama dua orang anak
perempuan, Keisya dan Dahlia. Kupanggil Rara sembari menggendong Dimas yang
kelelahan dan mengantuk. Kamipun berpamitan pada Bunda Sarah.
Sesampainya di rumah, aku langsung duduk mengecek daftar yang harus
kulakukan sembari menunggu Dimas yang masih tertidur. Tapi tiba-tiba putriku
datang. “Mah, Rara ga jadi pesta deh.”
Aku menoleh kaget, “Loh kenapa?”
Putriku terdiam sambil memainkan mulutnya. Airmatanya menggantung di
matanya. “Rara, Rara… pokoknya Rara ga mau pesta ulang tahun. Rara malu.”
Katanya cepat.
Aku tertawa kecil, “Loh kenapa malu, neng? Memangnya Rara malu
mengundang teman-teman Rara ke rumah?”
Putriku menggeleng, Ia duduk di sampingku dan berkata pelan, “Rara
malu sama Allah Mah. Rara sudah dikasih Mama dan Ayah, masih kepengen ulang
tahun segala. “
“Maksud Rara apa sih nak? Mama kok jadi bingung.”
“Tadi Rara tanya sama Dahlia, sama Keisya. Kalau mereka ulang tahun,
mereka kepengen apa. Trus Keisya bilang kepengen punya orang tua seperti Rara,
Dahlia juga sama.” Kulihat mata putriku berkaca-kaca.
“Loh kok nangis sih? Ayo crita dulu yang lengkap!” kataku sambil
merangkul bahu Rara.
“Rara malu karena Rara gak bersyukur selama ini, Ma. Rara masih
punya orangtua tapi Rara selalu minta macam-macam.” Putriku menangis di
pelukanku. Hatiku seperti disiram air hangat.
Perasaan Rara memang peka sekali dan mudah terharu. Seperti
diriku, dia juga tak mudah menceritakan isi hatinya. Tapi air mata yang
membasahi dadaku membuktikan betapa hatinya tersentuh mendengar permintaan
sederhana teman-temannya.
Malamnya saat kuceritakan pada suamiku, iapun terharu. Tapi ketika
aku menawarkan untuk mengadakan pesta di panti asuhan, suamiku justru
melarangnya karena katanya hal itu malah membuat anak-anak panti asuhan nanti
merasa semakin iri. Kasihan katanya, maksud hati hendak menyenangkan hati mereka,
tapi jauh di lubuk hati anak-anak itu pasti terselip rasa iri. Kalau memang
ingin memberi, berikanlah sesuatu tanpa mengadakan seremonial ulang tahun. Aku
sepakat karena paham suamiku tahu betul bagaimana rasanya menjadi anak
yang tinggal di panti asuhan. Kami putuskan untuk tetap menyedekahkan
uang kami sebagai bentuk rasa syukur bukan karena terpaksa atas permintaan
putra-putri kami. Anak-anak tetap menikmati “pesta” di panti asuhan walaupun
tak ada kue ulang tahun. Kami membuat pesta sederhana, makan-makan istilah
anakku. Sisa dana semua kami berikan pada Bunda Sarah. Berharap ia bisa
menggunakannya lebih baik dari kami.
Sejak itu kami tak pernah lagi mengadakan pesta ulang tahun. Rara
selalu bilang pada setiap orang, kalau ia malu dirayain dan Cuma kami
orangtuanya yang mengerti arti kata malu itu. Dimas juga sama, walaupun
kadang-kadang timbul juga ide konyolnya mengadakan pesta aneh-aneh, khas anak
laki-laki. Tetapi tiap kali kutanggapi serius, dia malah tertawa-tawa dan tak
pernah berkata ya.
Hari ini putriku sudah berulang tahun yang ke sepuluh, aku hanya
menghadiahkan selembar kaos warna pink yang memang dia butuhkan.
Sementara besok di hari ulang tahun putraku yang ke tujuh, dia meminta baju
kaos bola bergambar garuda di dada dan sepatu bola. Pesta? Meskipun tahun ini
aku telah memberikan tiga pilihan untuk mereka seiring dengan membaiknya
ekonomi keluarga kami yaitu pesta di restoran, belanja di mall atau makan
bersama keluarga. Keduanya memilih makan bersama keluarga di akhir pekan ini.
Gelang dan cincin kami mungkin telah melayang walaupun pesta tak jadi diadakan,
tapi kami menerima ganjaran yang lebih besar, anak-anak kami lebih menghargai
arti keluarga dan pesta yang sesungguhnya.